PEKERJA ANAK/BURUH ANAK, MASIH LAYAKKAH MEREKA ???

Senin

Oleh : Abd Gafur (Mahasiswa Fisip Uvri Makassar)

Tentang pekerja anak atau buruh anak bukan lagi masalah sosial Indonesia saja tetapi merupakan isu yang telah menjadi masalah di dunia dan menjadi salah satu agenda pokok. Hal ini juga mengindikasikan bahwa persoalan buruh anak merupakan persoalan serius dan menyangkut kepentingan banyak pihak. Mendengar kata Pekerja anak, kita langsung membayangkan anak yang bekerja, sementara disisi lain sebagian orang juga berfikir tentang anak yang berbakti kepada keluarganya, apakah bisa dianggap benar atau terjadi bentuk eksploitasi???.

Dari catatan International Labour Organization (ILO) memperkirakan bahwa anak yang bekerja sebagai buruh/pekerja anak sebanyak 218 juta orang (2004). Dan kalau pun membandingkan jumlah presentasi tersebut merupakan 7 persen dari jumlah tinggal di Amerika Latin, dan 18 persen di Asia, dan Afrika sekitar 75 persen. Untuk di Indonesia sendiri, angka Pekerja anak belum teridentifikasi dan jumlahnya tidak diketahui secara resmi. Tetapi, kalau melihat dengan referensi dari BPS (Badan Pusat Statistik), buruh anak adalah mereka yang berumur 10-14 tahun yang aktif melakukan kegiatan secara ekonomi (Sakernas, 1992; Nachrowi dan Muhidin, 1996). Dan sudah pasti banyak ketika kita punya data anak yang bekerja dari umur 10-18 tahun sesuai UU Perlindungan Anak nomor 23 Tahun 2002. Bahkan ada yang memperkirakan lebih besar lagi sampai 10 juta jiwa anak (Thijs, 1994). Angka yang berbeda mengenai jumlah buruh anak itu karena pertimbangan atas batasan dan konsep buruh anak. Data BPS sendiri tahun 2009. Pekerja dengan pendidikan SD ke bawah mengalami penurunan sebanyak 190 ribu orang dalam setahun terakhir (Februari 2008 – Februari 2009), namun jumlahnya masih tetap mendominasi lapangan kerja di Indonesia yaitu sebanyak 55,43 juta orang (53,05 persen) pada Februari 2009.

Terlepas dari pro-kontra jumlah buruh/pekerja anak diperkirakan meningkat lebih cepat tiap tahunnya. Apalagi ditambah krisis ekonomi tahun 1997 lalu saat ini merupakan salah satu indikasinya dan mungkin saja krisis tahun 2008 ini menambah besar quota pekerja anak. Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta (17,75 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta (15,97 persen), berarti jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 3,95 juta (BPS). Bukan hanya secara jumlah, pekerja anak/buruh anak juga meluas secara sektoral.

Terlepas dari jumlah, pikiran saya diatas bahwa bolehkan anak menjadi pekerja atau menjadi buruh, hal tersebut masih jadi pro-kontra. Kalau melihat kemabli ke pelosok pedesaan, anak yang bekerja itu sudah menjadi pememandangan biasa. Dalam proses indrustrialisasi, terjadi bentuk atau status keterlibatan anak dari tenaga keluarga yang tidak dibayar menjadi tenaga upahan. Menurut Tjadraningsih dan White (1992), sektor industri pengolahan di Indonesia selain mengandalkan angkatan kerja di atas umur 14 tahun, juga memanfaatkan mereka yang belum termasuk dalam angkatan kerja resmi.

Melihat sejarah panjang indonesia tentang per-buruh-an, anak-anak sudah menjadi oran yang dieksploitasi, menjadi buruh sejak zaman Belanda. Anak-anak menjadi buruh di perkebunan teh, tembakau dan tebu. Dan upahnya pun setengah dan bahkan tiga perempat dari upah dewasa laki-laki (Dokumen Pemerintah Kolonial Belanda tahun 1911/ Tjandraningsih dan Anarita, 2002). Konstalasi ini menjadi legitimasi mempekerjakan anak-anak, bahkan dengan pekerjaan yang eksploitatif, upah murah dan pekerjaan yang berbahaya (Joni, 1997). Bentuk eksploitasi terhadap anak terus terjadi dan dibidang ekonomi semakin meluas. Ketika anak bekerja menjadi Buruh di sebuah pabrik, dan saat diangkat menjadi sebuah permasalahan, pemilik modal selalu menjadikan tameng bahwa anak yang bekerja itu ada orang sangat ”berbakti” kepada orangtuanya. Dan orang tua pun tidak punya pilihan lain selain membenarkan hal tersebut terjadi. Sehingga hal tersebut menjadikan orang tua menjadi salah satu penyumbang terbesar anak sebai pekerja atau buruh.

Konvesi ILO 138 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja 1973 (ILO Convention No. 138 concerning Minimum Age for Admission to Employment) yang diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan UU No. 20/1999, Konvensi Hak-hak Anak (The United Nations Convention on the Rights of the Child) diratifikasi Pemerintah RI dengan Keppres 36/1990, dan Konvensi ILO 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak 1999 (ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Form of Child Labour) diratifikasi Pemerintah RI dengan UU No. 1/2000. Melihat juga KHA (Konvensi Hak Anak) pasal 32 menyebutkan bahwa buruh anak berhak dilindungi dari pekerjaan yang membahayakan kesehatan fisik, mental, spiritual, moral maupun perkembangan sosial atau mengganggu pendidikan mereka. Dalam pasal ini terkandung pengakuan bahwa persoalan buruh anak harus didekati sebagai persoalan kesejahteraan dan pekerjaan anak.

Melihat secara langsung daerah KIMA (Kawasan Industri Makassar), Walaupun telah banyak UU yang diratifikasi oleh Indonesia, tetapi tetap saja pekerja anak masih banyak dan tetap dibayar dengan upah tidak memenuhi Upah Buruh Minimum. Bukan hanya itu, anak pun masih bekerja melibihi porsinya dan berbanding sama dengan kerja Porsi orang dewasa. Dan kita juga tidak perlu menyalahkan ini salah siapa karena ini memang tuntutan zaman dan merupakan desakan ekonomi ataupun himpitan ekonomi.

Anak-anak yang dipekerjakan atau dilibatan dalam dunia kerja juga mengalami gangguan dalam tumbuh kembangnya, baik secara emosional maupun sosial. Anak yang bekerja akan mengalami hambatan dalam perkembangan pemikiran, sikap, kepribadian, keterampilan termasuk juga perilaku. Hal tersbut dikarenakan anak tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan dirinya. Dan yang terekam bahwa ada satu pekerjaan yang dilakukan berulang-ulang dalam jangka yang lama dan tidak ada ruang berpendapat dan membuat satu inovasi. Belum lagi dimensi hubungan orang dewasa dan anak banyak diwarnai oleh memusuhi dan kontrol yang berlebihan. Pekerja dewasa merasa tersaingi dengan kehadiran pekerja anak, sebagai akibatnya, pekerja dewasa memusuhi anak-anak dan sekaligus agar tidak merugikan kepentingan pekerja dewasa maka mengontrol tingkah-laku pekerja anak. Dampak dari sikap memusuhi dan kontrol pekerja dewasa dapat menimbulkan sikap pekerja anak : menarik diri, keras kepala, agresif (tidak mampu mengekspresikan keluar, diarahkan ke dalam

Harapan itu masih ada ketika Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara (Pemkab Kukar) menjadi pelopor yang mencanangkan daerahnya sebagai Zona Bebas Pekerja Anak (ZBPA). Kepeloporan tersebut muncul atas komitmen kuat bupatinya memprioritaskan pendidikan untuk meningkatkan sumber daya manusia Kukar. Pendeklarasian Kukar sebagai zona bebas pekerja anak, harus diakui sebagai kebijakan politik yang berani dan visioner. pencanangan ZBPA ini sebagai konsekwensi logis dengan diratifikasinya konvensi ILO No.138 dengan UU. No. 20/1999 Tentang Batas Usia Minimum Anak di perbolehkan kerja, serta konvensi ILO 182 dengan UU. No. 1/2000 tentang Penghapusan Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Kutai Kartanegara memelopori sebagai Kabupaten percontohan ZBPA, karena wilayah tersebut dinilai memiliki komitmen politik yang kuat tentang pendidikan, pengembangan ekonomi dan pelayanan sosial melalui Program Gerbang Dayaku yang memiliki tiga prioritas, yakni Pengembangan SDM, Ekonomi Kerakyatan dan Pelayanan Sosial

Mungkin saja, ketika Pemerintah Kabupaten Kutai menjadi sumbu meriam yang siapa meledak sehingga membuat daerah-daerah lain, khususnya Pemerintahan Sulawesi selatan terdorong untuk membuat hal yang sama dengan pemerintah kutai dan mungkin saja melebihi hal tersebut. Bukan hanya itu, Pemilik Industri juga Masyarakat juga harus merasa bahwa punya tanggung jawab secara tidak langsung, dan berprinsip bahwa anak adalah penerus cerita panjang Indonesia dan berpegang teguh bahwa anak tidak boleh dipekerjakan, dan sekalipun anak tetap bekerja akan tetap dilindungi dan menahan laju masuknya anak-anak ke dalam dunia kerja.*****

0 Comments:

 
FaceBlog © Copyright 2009 Knowledge and Writing For All | Blogger XML Coded And Designed by Abd Gafur