Kamis
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sepuluh tahun sudah momentum reformasi yang ditandai dengan mundurnya Suharto dan kursi presiden setelah bentahta 1,5 tahun pada kurun Pelita yang ke-7 menurut tarikh kekuasaan yang dibuatnya sendiri, dan realitas kehidupan berbangsa dan bernegara tidak juga beranjak lebih maju. Pasca-gerakan reformasi 1998, kehidupan sosial—politik menjadi riuh-rendah dan gegap gempita. Namun demikian, kehidupan sektor riil tidak beranjak maju. Perekonomian sulit, akses pendidikan dan kesehatan bagi orang miskin tersendat-sendat. Bahkan yang terakhir, pemerintah pusat bertikal dengan PT ASKES selaku penyelenggara asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin.
Struktur perekonomian Indonesia tetap saja tidak bergerak dan ketergantungan luar negeri. Gejolak harga minyak bumi di pasar internasional, menghantam asumsi harga minyak yang ditetapkan dalam perumusan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Meskipun lebih dari 10 persen minyak dunia berasal dan bumi Indonesa, tetapi karena sudah di jual dengan harga tetap sebelum kenaikan, maka kita menjadi kelabakan ketika harga minyak bumi naik. Bahkan, kedelai pun sempat menjadi faktor penekan perekonomian nasional. Segala sesuatunya menjadi sulit dipahami dan kacamata masyarakat awam.
Demokratisasi yang berkembang dengan gegap gempita, barulah memberikan angin sejuk bagi kaum cendekiawan yang sejak lama bosan dengan system otoritarian gaya Suharto yang telah mangangkangi perekonomian nasional selama 32 tahun dengan model oligarkhi. Demokratisasi yang dikembangkan pasca-reformasi meliputi 2 matra; yakni matra demokrasi prosedural atau formal yang berupa Pemilu yang lebih bebas (tanpa kelibatan militer dalam eskalasi pemilihan, mulai penjaringan calon sampai penetapan bakal calon legislatif), dan demokrasi partisipatif yang diletakan di matra pengambilan kebjakan eksekutit memunculkan proses eksperimentasi demokrasi yang sungguh mengasyikan. Namun demikian, sudahkah hasilnya dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat?
Demokrasi prosedural kita, sedemikian rupa telah menjelma menjadi sebuah teladan demokrasi delegatif yang dikuasai sepenuhnya oleh individu-individu wakil rakyat yang kita pilih metalui proses Pemilihan Umum. Sedangkan selebihnya, tidak diatur dengan baik bagaimana kelibatan masyarakat dalam proses-proses yang dilalui para wakil rakyat ketika mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Para wakil rakyat setelah terpilih dan duduk di kursi parlemen, di berbagai tingkatan, cenderung memerankan dirinya sebagai delegasi rakyat; yang memiliki kewenangan penuh untuk menentukan dan membuat keputusan tanpa perlu mendengarkan dan belajar (apalagi meminta pendapat dan persetujuan) dan rakyat yang diwakilinya. Faktor kepentingan individu dan kepentingan kelompok lalu menjadi penggerak yang lebih dominan di ranah proses pengambilan keputusan yang bertujuan untuk menjamin hajat hidup rakyat. Terutama menyangkut perencanaan anggaran pendapatan dan belanja (APBN/APBD). Lolosnya undang-undang penanaman modal merupakan contoh terburuk dan pengembangan konsensus suara terbanyak yang menghasilkan keputusan terburuk bagi republik ini.
Sedangkan di matra eksekutif yang menyangkut presisi dan akurasi perumusan program untuk mendorong percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak menunjukan tanda-tanda kemajuan yang penting. Sektor pertanian masih saja terbelenggu oleh sistem yang dikembangkan sebelumnya. Posisi tawar petani terhadap pasar dan teknologi pertanian berada di ambang kritis yang memprihatinkan. Kehidupan sektor informal, apalagi, semakin terpuruk kearah yang tidak menunjukan titik terang. Orientasi pembanginan kita, mengalami krisis kapasitas regulatif negara.
Di sisi lain, kemauan kelompok masyarakat terjaga active citizen untuk mengorganisasikan diri dan terlibat ke dalam proses pengaturan tata kehidupan orang banyak, menunjukan penguatan yang signifikan. Baik di tingkat pedesaan, sampai ke tingkat nasional. Namun demikian, karena ketiadaan jaminan kepastian atas motif untuk melibatkan diri tersebut, maka yang terjadi adalah hiruk pikuk yang penuh dengan kekecewaan karena lebih sering dilibatkan secara semu dan kemudian diabaikan pada tahapan selanjutnya. Oleh satunya upaya untuk menjawab kebelumsempurnaan perjalanan republik.
Setelah runtuhnya Sistem yang dibangun oleh masa Pemerintahn Soeharto maka sitem yang dibuat juga lebih terbuka, dan pemilhan legislatife pun dilakukan dengan pemilihan langsung begitu pun pemilhan kepala daerah, dan terlihat pada tahun 2004. PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG sudah menjadi konsensus politik nasional. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 56 menyebutkan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan azas langsung, umum bebas, rahasia, jujur dan adil. Bahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah lebih dikenal sebagai UU pemilihan kepala daerah langsung (pilkadasung). Peraturan pelaksanaan pilkadasung juga telah dikeluarkan melalui Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2005. Untuk menyempurnakan pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang No.3 tahun 2005 tentang Perubahan atas UU. 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2005 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2005. Meskipun demikian, seperti telah banyak ditulis dan didiskusikan, p&aksanaan Pilkadasung bukanlah tanpa masaah. Permasalahan muncul mulai dan aspekteoritis, normatif-konstitusional, sampai pada aspek teknis implementasi. Apakah pemilihan kepala daerah Iangsung merupakan keniscayaan dalam era otonomi daerah?
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sepuluh tahun sudah momentum reformasi yang ditandai dengan mundurnya Suharto dan kursi presiden setelah bentahta 1,5 tahun pada kurun Pelita yang ke-7 menurut tarikh kekuasaan yang dibuatnya sendiri, dan realitas kehidupan berbangsa dan bernegara tidak juga beranjak lebih maju. Pasca-gerakan reformasi 1998, kehidupan sosial—politik menjadi riuh-rendah dan gegap gempita. Namun demikian, kehidupan sektor riil tidak beranjak maju. Perekonomian sulit, akses pendidikan dan kesehatan bagi orang miskin tersendat-sendat. Bahkan yang terakhir, pemerintah pusat bertikal dengan PT ASKES selaku penyelenggara asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin.
Struktur perekonomian Indonesia tetap saja tidak bergerak dan ketergantungan luar negeri. Gejolak harga minyak bumi di pasar internasional, menghantam asumsi harga minyak yang ditetapkan dalam perumusan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Meskipun lebih dari 10 persen minyak dunia berasal dan bumi Indonesa, tetapi karena sudah di jual dengan harga tetap sebelum kenaikan, maka kita menjadi kelabakan ketika harga minyak bumi naik. Bahkan, kedelai pun sempat menjadi faktor penekan perekonomian nasional. Segala sesuatunya menjadi sulit dipahami dan kacamata masyarakat awam.
Demokratisasi yang berkembang dengan gegap gempita, barulah memberikan angin sejuk bagi kaum cendekiawan yang sejak lama bosan dengan system otoritarian gaya Suharto yang telah mangangkangi perekonomian nasional selama 32 tahun dengan model oligarkhi. Demokratisasi yang dikembangkan pasca-reformasi meliputi 2 matra; yakni matra demokrasi prosedural atau formal yang berupa Pemilu yang lebih bebas (tanpa kelibatan militer dalam eskalasi pemilihan, mulai penjaringan calon sampai penetapan bakal calon legislatif), dan demokrasi partisipatif yang diletakan di matra pengambilan kebjakan eksekutit memunculkan proses eksperimentasi demokrasi yang sungguh mengasyikan. Namun demikian, sudahkah hasilnya dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat?
Demokrasi prosedural kita, sedemikian rupa telah menjelma menjadi sebuah teladan demokrasi delegatif yang dikuasai sepenuhnya oleh individu-individu wakil rakyat yang kita pilih metalui proses Pemilihan Umum. Sedangkan selebihnya, tidak diatur dengan baik bagaimana kelibatan masyarakat dalam proses-proses yang dilalui para wakil rakyat ketika mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Para wakil rakyat setelah terpilih dan duduk di kursi parlemen, di berbagai tingkatan, cenderung memerankan dirinya sebagai delegasi rakyat; yang memiliki kewenangan penuh untuk menentukan dan membuat keputusan tanpa perlu mendengarkan dan belajar (apalagi meminta pendapat dan persetujuan) dan rakyat yang diwakilinya. Faktor kepentingan individu dan kepentingan kelompok lalu menjadi penggerak yang lebih dominan di ranah proses pengambilan keputusan yang bertujuan untuk menjamin hajat hidup rakyat. Terutama menyangkut perencanaan anggaran pendapatan dan belanja (APBN/APBD). Lolosnya undang-undang penanaman modal merupakan contoh terburuk dan pengembangan konsensus suara terbanyak yang menghasilkan keputusan terburuk bagi republik ini.
Sedangkan di matra eksekutif yang menyangkut presisi dan akurasi perumusan program untuk mendorong percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak menunjukan tanda-tanda kemajuan yang penting. Sektor pertanian masih saja terbelenggu oleh sistem yang dikembangkan sebelumnya. Posisi tawar petani terhadap pasar dan teknologi pertanian berada di ambang kritis yang memprihatinkan. Kehidupan sektor informal, apalagi, semakin terpuruk kearah yang tidak menunjukan titik terang. Orientasi pembanginan kita, mengalami krisis kapasitas regulatif negara.
Di sisi lain, kemauan kelompok masyarakat terjaga active citizen untuk mengorganisasikan diri dan terlibat ke dalam proses pengaturan tata kehidupan orang banyak, menunjukan penguatan yang signifikan. Baik di tingkat pedesaan, sampai ke tingkat nasional. Namun demikian, karena ketiadaan jaminan kepastian atas motif untuk melibatkan diri tersebut, maka yang terjadi adalah hiruk pikuk yang penuh dengan kekecewaan karena lebih sering dilibatkan secara semu dan kemudian diabaikan pada tahapan selanjutnya. Oleh satunya upaya untuk menjawab kebelumsempurnaan perjalanan republik.
Setelah runtuhnya Sistem yang dibangun oleh masa Pemerintahn Soeharto maka sitem yang dibuat juga lebih terbuka, dan pemilhan legislatife pun dilakukan dengan pemilihan langsung begitu pun pemilhan kepala daerah, dan terlihat pada tahun 2004. PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG sudah menjadi konsensus politik nasional. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 56 menyebutkan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan azas langsung, umum bebas, rahasia, jujur dan adil. Bahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah lebih dikenal sebagai UU pemilihan kepala daerah langsung (pilkadasung). Peraturan pelaksanaan pilkadasung juga telah dikeluarkan melalui Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2005. Untuk menyempurnakan pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang No.3 tahun 2005 tentang Perubahan atas UU. 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2005 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2005. Meskipun demikian, seperti telah banyak ditulis dan didiskusikan, p&aksanaan Pilkadasung bukanlah tanpa masaah. Permasalahan muncul mulai dan aspekteoritis, normatif-konstitusional, sampai pada aspek teknis implementasi. Apakah pemilihan kepala daerah Iangsung merupakan keniscayaan dalam era otonomi daerah?
B. POKOK PERMASALAHAN
Dari pembahasan diatas dapat kita mengambil pokok masalah yaitu :
Bagaimanakah Pemilihan Kepala Daerah dan Otonomi Daerah dalam Dinamika Teoritis ?
Bagaimanakah Problem Pilkada Langsung yang diselenggarakan di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pemilihan Kepala Daerah dan Otonomi Daerah dalam Dinamika Teoritis
Hampir di semua negara, politik Iokal memiliki keterkaitan dengan otonomi daerah. Sebagaimana didefinisikan oleh Mawhood otonomi daerah merupakan “a Freedom which is assumed by local government in both making and implementing its own decision” (Mawhood, 1985). Kebebasan yang dimiliki oleh daerah untuk membuat dan mengimplementasikan sendiri keputusannya adalah hakekat dan otonomi daerah. Dalam kandungan pengertian ini daerah memiliki kebebasan politik lokal untuk untuk menentukan cara memilih wakil-wakilnya baik di legislatif (sebagai councilor) maupun di eksekutif (sebagai mayor). Tentu saja setiap daerah menikmati kebebasan yang berada dalam koridor kebijakan pemerintah pusat. Terlebih dalam Negara kesatuan, otonomi yang dimiliki oleh daerah bukanlah suatu yang original, melainkan pemberian dan pemerintah pusat.
Esensi pemberian otonomi sebagaimana dimaksud oleh Mawhood tidaklah sekadar memenuhi ruang administratif, lebih dan otonomi daerah dalam pengertian mi memiliki makna politik, khususnya dalam konteks politik lokal. Berbeda dengan politik nasional, politik ditingkat lokal adalah sesuatu yang khas oleh karena setiap daerah memiliki ciri-ciri dan kharakteristik yang berbeda, danjuga kedekatan hubungan antara pemilih (constituent) dengan wakilnya (elected). Kebebasan untuk membuat peraturan dan melaksanakan keputusan tersebut dapat dilakukan baik secara langsung dalam demokrasi Iangsung (plebiscite democracy) maupun dalam demokrasi tidak langsung (representative democracy). Pilihan mana terhadap kedua bentuk demokrasi tersebut menjadi bagian tidak terpisahkan dan karakter otonomi daerah. Lebih-Iebih dalam suatu negara federal, municipal, city, dan commune sangat menikmati otonomi yang dimilikinya untuk memilih apakah penyelenggaraan pemenintahan dilakukan secara perwakilan atau secara langsung.
Dalam khasanah literatur pemerintahan daerah (local government), representasi kepentingan masyarakat lokal seringkali sudah menjadi kesepakatan terhadap esensi demokrasi lokal dan regional yang modern (Norton, 1993). Kepentingan masyarakat lokal dilakukan oleh waki-wakil rakyat yang dipilih secara demokratis. Dengan pengecualian Swiss, di mana demokrasi langsung melalui referendum telah hidup dan berakar dalam politik lokal masyarakatnya, kebanyakan Negara-negara didunia mendasarkan praktek demokrasi lokal kepada demokrasi perwakilan (representative democracy). Demokrasi dan politik lokal lazimnya ditentukan oleh beberapa faktor yaitu: partai politik, sistem pemilihan, kelompok-kelompok partai yang berkuasa (ruling party group and party caucus), dan anggota-anggota DPRD (councilors) (Stoker, 1991).
Sistem partai politik di tingkat lokal pada umumnya dapat dibagi dua, yaitu multy party system yang dicerminkan oleh keberadaan banyak partai dan bahkan di Negara-negara federal dimungkinkan hidupnya partai lokal yang tidak memiliki hubungan dengan salah satu partai di tingkat nasional dan single party system. Dalam single party system, biasanya partai politik di tingkat lokal dikuasai oleh satu partai politik yang memiliki hubungan atau merupakan perwakilan dan salah satu partai politik di tingkat nasional. Di negara-negara berkembang keterkaitan partai lokal terhadap partai nasional seringkali menyebabkan kooptasi kebebasan partai politik di tingkat lokal. Hal ini dilakukan melalui intervensi terhadap calon-calon kepala daerah dan anggota-anggota DPRD. Terkait dengan masalah partai politik di tingkat lokal adalah apakah calon kepala daerah atau anggota DPRD hanya dapat dicalonkan melalui partai politik atau dapat juga dicalonkan secara independen. Di beberapa Negara, kandidat dan calon independen juga dapat beperan penting dalam pemilihan kepala daerah (Norton, 1993).
Faktor lain yang juga berpengaruh dalam demokrasi dan politik lokal sistem pemilihan di tingkat lokal adalah tingkat pencapaian demokrasi sebagaimana dikemukakan oleh Mozaffar dan Schedler yang mendefinisikan keterkaitan antara sistem pemilihan dengan tingkat pencapaian demokrasi sebagai electoral governance yaitu “crucial variable in securing the credibility of elections in emerging democracies, but remains largely ignored in the comparative study of democratization” (Mozaffar and Schedler, 2002). Untuk mencapai electoral governance ada beberapa tingkatan dan masing-masing elemen yang harus dipenuhi. Pada prinsipnya tingkat tersebut terdiri dari rule making, rule application dan rule adjudication.
Pemilihan langsung Kepala Daerah diharapkan dapat memperkuat kedudukan kepala Daerah sekaligus mengurangi intenvensi DPRD agar “transaksi politik” yang melahirkan “money politics” dapat diminimalisasi. Melalui cara ini, diharapkan praktek money politics yang terjadi di daerah selama ini dapat diperkecil. Meskipun demikian, berkurangnya praktek money politics dan penguatan local democracy adalah dua hal yang berbeda. Di negara-negara demokrasi modern, pemilihan langsung kepala daerah (mayor, Oberbuergermeister) dimaksudkan sebagai salah satu instrumen untuk memperkuat partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah. Masyarakat menentukan dan memilih secara langsung kepala daerahnya. Pilihan langsung ini sekaligus memberikan kedudukan kepala daerah yang kuat secara politis terhadap DPRD (council) seperti yang dimiliki oleh pola “sbvng mayoi’ di USA dan “Oberbuergermeister” di Jerman.
Sebaliknya, di beberapa negara-negara berkembang, praktek pemiihan Iangsung kepala daerah dan pemisahan kekuasaan antara kepala daerah dan DPRD justru menjadi penyebab kasus-kasus korupsi dan ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Seperti dijelaskan oleh Richard Crook dan James Manor, praktek-praktek bad governance dalam sistem pemilihan Iangsung kepala daerah di negara-negara berkembang dimungkinkan terjadi karena lemahnya fungsi pengawasan DPRD terhadap kinerja kepala daerah. “Some of the worst cases of corruption and ineffectiveness are associated with the direct popular election mayors of chief executives and a separation of powers between the elected chief and representative councils” (Richard Crook and James Manor, 1998)
Kepala daerah tidak akuntabel terhadap DPRD. Pada sisi lainnya, masyarakat (baik individual maupun kolektif) sebagai pemilih belum berperan secara efektif dalam pengawasan. Evaluasi kinerja kepala daerah hanya dilakukan dalam kurun waktu 5 tahun, saat dilakukan pemilihan berikutnya. Faktor penting lainnya yang berkontribusi sebagai penyebab bad governance adalah ciri-ciri elit politik lokal di Negara berkembang yang disebut oleh Crook dan Manor sebagai close knit power. Elite politik lokal tersebut selalu berupaya untuk mempertahankan posisinya dan menutup rapat-rapat semua pintu bagi masuknya oposisi dan elit-elit di luar lingkar kekuasaan. Segala cara akan diupayakan untuk mempertahankan status quo, sekalipun melalui cara-cara yang ilegal dan tidak etis. Pada sisi lainnya, ciri-ciri elite close knit power adalah hubungan yang erat antara sektor publik dan sektor bisnis dalam pembuatan kebijakan, pemberian lisensi dan penyediaan barang dan jasa. Praktek yang seringkali muncul adalah upaya membeli suara rakyat dengan iming-iming uang dan kèkuasaan (money politics). Biaya mahal (high cost) dalam proses pemilihan harus dibayar mahal pula dengan cara semaksimal mungkin untuk memenangkan pertarungan dalam pemilihan. Dalam perjalanan pemerintahan Seorang kepala daerah, transaksi politik yang melibatkan uang dan kekuasaan ekonomi pada proses pemilihan harus dibayar dengan tender-tender proyek yang koruptif, nepotis dan kolutif. Semua itu harus dibayar oleh uang rakyat yang dilegalisasi oleh mandat yang diperoleh secara legitimatif dan langsung dan rakyat.
Pada sisi lainnya, pengawasan yang dilakukan oleh local council (DPRD) menjadi lemah karena kepala daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD. Kepala Daerah bertanggungjawab dan memegang mandat langsung dan dan kepada rakyat. Bahkan di Indonesia, kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat bertanggungjawab kepada pemerintah pusat, bukan kepada rakyat. Kepala daerah hanya memberikan informasi pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan kepada rakyat. Sedangkan kepada DPRD hanya memberikan keterangan laporan pertanggungjawaban. Karena kepala daerah tidak akuntabel kepada DPRD, maka peran DPRD sebagai lembaga pengawas menjadi emah. Dalam kasus Indonesia, DPRD dapat menjatuhkan kepala daerah hanya melalui cara dan proses yang sangat sulit atas dasar pelanggaran hukum pidana, meluasnya krisis kepercayaan masyarakat, tindakan makar, dan tidak terpenuhinya lagi syarat-syarat administratif yang ditetapkan. Seorang kepala daerah tidak bisa dijatuhkan atas dasar rendahnya kinerja dan tidaktercapainya program- program pembangunan yang telah ditetapkan.
Masih dalam konteks Indonesia, kelemahan praktek pemilihan langsung kepala daerah terletak pada tertutupnya kemungkinan calon independen untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Dengan kata lain, proses pencalonan kepala daerah harus melalui partal politik.Tanpa partai politik, calon lokal yang populer dan disukai masyarakat untuk menjadi kepala daerah tidak mungkin dapat mencalonkan diri. Praktek buruknya adalah “penyewaan” partai politik tertentu sebagal kendaraan bagi seorang calon independen untuk mencalonkan din. Harga kendaraan partai politik juga bervariasi, tergantung dan tingkat suara yang dimiliki di DPRD dan konfigurasi politik yang ada di daerah. Harga kendaraan politik dapat benvariasi antar 3-20 Milyar rupiah untuk pencalonan sebagai gubernur atau 3-10 Milyar rupiah untuk Bupati/Walikota. Biaya mi akan semakin mahal jika partai politik tersebut merupakan partai mayoritas di DPRD yang dapat melakukan tekanan-tekanan politik dalam masa pemenintahan seorang kepata daerah, terutama untuk persetujuan Rencana Anggaran dan Belanja Daerah. Meskipun praktek pemilihan langsung kepala daerah di beberapa negara menunjukkan hasil yang negatif, beberapa ahIi politik dan pemerintahan daerah masih menganggap pentingnya pemilihan Iangsung kepala daerah. Ada beberapa argumen mengapa pemilihan kepala daerah secara langsung dapat memperbaiki kualitas demokrasi dan penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia (Hans, 2005:2). Pertama, pemilihan langsung untuk memutus mata rantai oligarki partai yang mewarnai partai-partai di DPRD saat ini. Oligarki partai ini seringkai dijadikan sebagai alasan kepentingan sekelompok kecil orang mengatasnamakan masyarakat. Hal ini yang menyebabkan politisasi kepentingan publik oleh partai-partai politik agar kepentingannya dapat dipenuhi oleh kepala daerah terpilih. Kedua, pemilihan langsung kepala daerah diperlukan untuk meningkatkan kualitas akuntabilitas para elite politik lokal, termasuk kepala-kepala daerah. Pemilihan secara tidak angsung melalui DPRD cenderung menciptakan ketergantungan berlebihan kepala-kepla daerah. Ketergantungan ini menyebabkan kepala daerah merasa lebih bertanggung jawab kepada DPRD daripada kepada masyarakat. Dampak lebih jauh adalah terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme serta politik uang antara para CaIon kepala daerah dan anggota DPRD dalam proses pemilihan dan pertanggungjawaban seorang kepala daerah. Itu sebabnya proses pemilihan dan pertanggungjawaban kepala daerah secara tidak langsung seringkali disertai dengan “konsesi” tertentu berupa p0- litik uang dan “proyek-proyek jatah” (Indonesian Corruption Watch, 2005 dan Transparansi International Indonesia, 2005).
Alasan ketiga pemilihan langsung kepala daerah adalah stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan di tingkat lokal. Proses pemecatan yang sangat diwarnai oleh kepentingan politik seringkali menyebabkan Iayak menjadi pemimpinnya di tingkat lokal. Calon yang dikenal dan sudah diketahui kemampuan dan kredibilitasnya akan mendapatkan kesempatan untuk dipilih oleh masyarakat. Sebaliknya calon yang berasal dan pusat dan tidak dikenal oleh masyarakat tentu saja dapat berkompetisi dengan resiko kegagalan yang tinggi.
2. Problem Pilkada Langsung yang diselenggarakan
Polemik mengenai pemilihan Iangsung kepala daerah (Pilkada) muncul kembali. Jika pada pembahasaan naskah akademik UU. 32 tahun 2004 polemik tersebut berkait dengan pertanyaan apakah Pilkada Iangsung dapat meredam praktek politik uang yang terjadi selama tahun 2001-2004, maka pada saat itu debat tersebut terarah pada biaya pilkada yang sangat mahal. Pun hasil Pilkada jauh dari harapan kualitas politik yang diharapkan. Ketua Umum NU, K.H. Hasyim Muzadi (Kompas, 26/01/07), bahkan mengusulkan untuk menghapus Pilkada Iangsung. Beberapa waktu sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengkritisi mahalnya biaya demokrasi melalui Pilkada selama lima tahun dan Pemilu 2009 yang akan mencapai 200 Trilyun. Haruskah kita menghapus Pilkada? Pemilihan Iangsung kepala daerah adalah instrumen untuk mening katkan participatory democracy. Melalui pilkada masyarakat memilih Iangsung kepala daerahnya yang dianggap paling baik dan memenuhi semur unsur yang diharapkan. Karena sesungguhnya demokrasi itu bersifat lokal, maka salah satu tujuan pilkada adalah untuk memperkuat legitimasi demokrasi itu sendiri. Meskipun demikian, dalam praktek di negara-negara lain, keberhasilan pilkada langsung tidaklah berdiri sendiri tetapi juga ditentukan oleh kematangan dan kesiapan partal politik dan aktor politik, budaya politik yang tumbuh di masyarakat, serta kesiapan dukungan administrasi penyelenggaraan pilkada. Kondisi politik lokal yang sangat heterogen, kesadaran dan pengetahuan politik masyarakat yang rendah, serta jeleknya sistem pencatatan kependudukan dan penyelenggaraan pemilihan (electoral governance) seringkali menyebabkan kegagalan tujuan pilkada langsung.
Hal ini pulalah yang membuat Manor dan Crook (1998), berdasarkan hasH penelitiannya, menyebutkan bahwa dalam banyak hat pemilihan langsung kepala daerah dan pemisahan yang tegas antara mayor (kepala daerah) dan councilor (anggota DPRD) di negara-negara berkembang telah menyebabkan praktek-praktek pemerintahan yang semakin buruk. Faktor utamanya adalah karakter elit lokal yang kooptatif dan selalu menutup kesempatan pihak lain untuk berkompetisi dalam politik, pengetahuan dan kesadaran politik masyarakat yang yang rendah, serta tidak adanya pengawasan yang terus-menerus DPRD terhadap kepala daerah. Faktor-faktor tersebut sepertinya juga terefleksi di Indonesia. Kooptasi kekuasaan dilakukan oleh incumbent dengan memanfaatkan akses birokrasi yang dimilikinya. Akibatnya tidakjarang data-data kependudukan dimanipulasi dan proses penyelenggaraan pilkada yang tidak objektif dan tidak independen. Sebagian besar problem dan gugatan pilkada di Indonesia bermula dan data kependudukan yang tidak valid. Demikian pula, rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap esensi Pilkada telah menyebabkan praktek politik uang dalam Pilkada. Khusus untuk Indonesia, problem Pilkada diperberat dengan kualitas partai politik dan aktor politik yang tidak memadai. Kasus Pilkada Malut dan Sulsel menunjukkan kepada kita betapa sulitnya menghasilkan pilkada yang berkualitas dan diterima semua pihak.
Tuntutan untuk menghapus Pilkada langsung bukanlah tidak beralasan. Sangat sederhana memang alasan tersebut; biaya Pilkada terlalu mahal dengan kualitas hasil pilkada yang tidak maksimal. Hal ini merupakan problem klasik transfer suatu sistem dan negara maju dengan infrastruktur sosial politik yang sudah terbentuk, ke dalam negara-negara berkembang dengan sistern yang masih tradisional. Di negara-negara demokrasi modern yang merniliki tradisi pernilihan Iangsung, penyelenggaraan pernilu dilakukan secara terintegrasi dengan sistem birokrasi lokal. Lebih konkrit, Pilkada langsung di negara-negara tersebut dilakukan oleh Biro Statistik Lokal atau Dinas Kependudukan Lokal yang memiliki perangkat dan sistem kependudukan yang memadai.
Ada dua manfaat efisiensi yang bisa diperoleh dengan cara tersebut; pertama, penyelenggara pemilu tidak dibayar khusus hanya untuk menyelenggarakan pemilu. Hal ini kontradiktif terjadi di Indonesia, bahwa biaya KPUD menjadi sangat mahal untuk menyelenggarakan semua tahapan mulai dan pendaftaran pemilih sampai penetapan pemenang. Kedua, Pilkada adalah pesta demokrasi biasa yang menjadi hal biasa pula, sehingga tidak dibutuhkan persiapan dan biaya khusus untuk menyelenggarakannya. Di Indonesia, biaya pilkada menjadi sangat mahal, karena Pilkada merupakan pesta akbar, dan harus dibiayai secara khusus pula. Mulai dan pendaftaran ulang yang seringkali tidak valid, pengadaan barang dan jasa untuk kebutuhan pencoblosan yang berulang setiap pemilihan, sampai pada kampanyejor-joran yang hanya dilakukan oleh parpol dan calon menjelang pilkada. Dengan kata lain, pilkada adalah “proyek besar” yang harus dibiayai dengan anggaran yang besar pula. Akibatnya, inefisiensi terjadi dalam paradigma proyek pilkada semacam itu. Logika berpikir proyek dalam Pilkada ini tidak saja merasuki pemikiran para penyelenggara Pilkada, tetapi juga partai politik, aktor politik, calon kepala daerah, sebuah pesta biasa, bukan pesta besar dengan anggaran besar. Dalam jangka panjang, birokrasi yang netral dan profesional dapat menjadi pilihan sebagai penyeIenggara pilkada untuk menjadikan pilkada sebagai hal biasa dalam kehidupan parpol, aktor politik dan juga masyarakat pemilih.
DAFTAR PUSTAKA
Ghufran, M. Kordi K, 2007. Ironi Pembangunan (Beberapa Catatan Kritis dan Refleksi). Jakarta Timur: PT Perca.
Putra, N., 1993. Pemikiran Soedjatmoko Tentang Kebebasan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama dan Yayasan Seodjatmoko, Jakarta.
Geventa, John, dkk, 2008. Demokrasi Deliberatif yang Mensejaterahkan (upaya Revitalisasi Demokrasi Lokal). Jakarta: Panitia Nasional Kaukus 17++.
Duverger, Maurice, 2005. Sosiologi Politik Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu social.
Windhu, I.M., 1992. Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung. Yogyakarta: Kanisius.
0 Comments:
Post a Comment