Upaya Mempraktikkan Partisipasi dalam Ruang Formal dan Non Formal;

Minggu

Oleh: Mayadina Rohma Musfiroh

Sebagai awalan perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan judul di atas adalah usaha-usaha warga dalam memperjuangkan hak-haknya yang dirampas Negara/kekuasaan dengan dua arena; formal (mekanisme partisipasi yang di atur negara) dan non formal (ruang-ruang partisipasi yang diciptakan warga). Penegasan ini sangat penting karena hingga kini pemerintah masih membedakan dirinya dengan warga dalam setiap kesempatan yang kami alami di Jepara. Dan pendekatan oposisi biner efektif mengasah kecerdasan warga mendedahkan problem social dan kenyataan eksploitasi yang terus menerus dimainkan Negara. Karena itu pada setiap ruang dimana terjadi pembicaraan mengenai kepentingan public, maka pemerintah mesti diposisikan sebagai lawan bicara.

Di Jepara kami mencoba memfasilitasi pengembangan partisipasi aktif warga (active citizen) sebagai bagian dari pengembangan demokrasi lokal dan eksperimentasi mengenai deepening democracy. Selain itu, mencoba memfasilitasi masyarakat untuk bisa ikut berpartisipasi dalam proses kebijakan publik, termasuk di dalamnya proses perencanaan dan penganggaran. Terkait dengan upaya tersebut maka peran yang dilakukan Forum Warga mencakup dua arena formal dan non formal.

Arena Formal

Suksesnya penyelenggaraan Mubes FW telah mendorong Bappeda memberikan apresiasi positif terhadap gagasan perencanaan partisipatif dan penganggaran sebagaimana dilakukan PC Lakpesdam, FW dan tim inti Mubes diberi kesempatan untuk memfasilitasi Musrenbangdes di 194 desa dan Musrenbangcam di 14 Kecamatan dan menjadi peserta dalam Musrenbangkab. Kegiatan ini bermanfaat untuk meningkatkan kualitas partisipasi karena bisa melibatkan masyarakat yang lebih luas dalam Musrenbang. Meskipun demikian tidak banyak yang diperoleh warga kecuali mengetahui mekanisme dan aturan main musyawarah versi pemerintah dan sadar posisinya yang lemah dihadapan Negara. Bayangkan betapa sulitnya dalam sebuah proses perencanaan, usulan warga bisa masuk apabila tidak sesuai dengan dokumen RPJMDes atau Renstra SKPD yang notabene tidak pernah diketahui warga.

Terdapat kenyataan berbeda di dalam Forum SKPD dimana aktivis forum warga dilibatkan dalam perencanaan dan diminta memberikan usulan. Misalnya dari 20 usulan program untuk Dinas Pendidikan dari warga, 17 usulan diantaranya diakomodir. Usulan Program SRI (system rice of intensification) sector pertanian sejumlah 300 juta untuk 10 kelompok tani, student career centre, pengembangan media pelajar, dan lain-lain. Negosiasi macam ini dimungkinkan karena factor negosiasi kawan-kawan/warga dan good will SKPD bersangkutan. Jadi bukan factor transformasi dalam tata pemerintahan.

Banalitas pemerintah terhadap tuntutan perubahan menjadikan Musrenbang, Forum SKPD dll benar-benar sebagai arena pertarungan politik bagi warga. Kemampuan mengemukakan pendapat, berargumentasi secara rasional dan teknik negosiasi sangat menentukan dalam berunding dengan pemerintah. Disinilah posisi NGO dalam partisipasi di jalur formal sangat diperlukan. Bukan saja sebagai pendamping, melainkan juga sebagai negosiator.

· Arena Non Formal

Inilah arena sesungguhnya dari politik sipil dengan budaya dan bentuk yang beragam. Dinamika dan problematika dalam kelompok masyarakat nelayan, petani dan kelompok perempuan yang bergulat dengan PC Lakpesdam menggambarkan keberagamam tersebut. Dan disitulah keunikan sekaligus tantangan dalam arena partisipasi non formal. Beberapa kegiatan yang telah tempuh untuk membangun partisipasi non formal antara lain;

1) Lokakarya P4D ((Perencanaan Partisipatoris Penyusunan Program Desa).

Lokakarya ini merupakan exercise pertama kali bagi FW dalam perencanaan dan penganggaran.[1] Di Jepara P4D mengambil lokasi di 4 kecamatan ( Pecangaan, Kedung, Batealit, Keling) dan 14 desa. Pemilihan lokasi ini memiliki pertimbangan antara lain, kecamatan Pecangaan memiliki potret home industri serta aktivitas pertanian yang sangat dinamis. Kecamatan Kedung merupakan kecamatan yang memiliki tensi konflik cukup tinggi, apalagi pasca konflik partai berdarah PPP vs PKB di Desa Dongos tahun 1999 disamping memiliki potensi kelautan dan desa Pesisir. Kecamatan Keling adalah daerah paling selatan Jepara yang mayoritas penduduknya bertani, beternak dan sebagian nelayan. Kecamatan ini memiliki sumberdaya alam yang potensial seperti pasir besi dan feldspar. Terakhir adalah kecamatan Batealit, daerah ini memiliki kesamaan dengan Kedung, memiliki tingkat ’ketertutupan’ birokrasi dan tensi konflik partai politik yang tinggi. Penduduknya mayoritas bertani, beternak dan buruh mebel.

Pada awal P4D atau gagasan partisipasi dikenalkan didesa-desa, berbagai respons bermunculan dari warga. Di beberapa daerah ’miskin’ respon warga terhadap P4D terkesan pragmatis. Misalnya dengan mengajukan pertanyaan kepada fasilitator, ”Bawa dana berapa kesini? ”. Atau respon warga yang berada didaerah industri, ” Selama ini kita sudah banyak berpartisipasi dengan cara menyumbang dana pembuatan jalan, pembangunan mushola, jadi berpartisipasi apa lagi?”. Pengalaman masuk didesa konflik, fasilitator dari Lakpesdam NU harus ekstra hati-hati menyembunyikan identitas NU, akibat perspektif sepihak mereka bahwa NU sama dengan PKB. Sehingga seringkali terdengar lontaran, ”Ora perlu NU-NU an” (tidak perlu NU-NU an). Dari pergulatan mendiseminasi gagasan partisipasi d tersebut, lahirlah Forum Warga. Demikian adalah kisah awal masuknya forum warga di Jepara. Untuk itu, Forum Warga Jepara memiliki salah satu mandat tak kalah penting yaitu menurunkan tensi konflik politik disamping sebagai arena pendidikan politik, regrouping dan mengasah kepekaan atas persoalan kewargaan dan kepemerintahan.


2) Dialog Publik

Dialog publik adalah forum yang diinisiasi dan diselenggarakan oleh Forum Warga untuk menjadi ruang komunikasi dan dialog mendengarkan paparan mengenai berbagai isu yang menyangkut kepentingan warga. Seringkali dialog public tersebut melibatkan stakeholder terkait dengan isu yang sedang diperbincangkan warga. Berbagai dialog public yang pernah diselenggarakan di Jepara antara lain :

  1. Dialog Publik tingkat kabupaten[2] (Mei 2003)
  2. Dialog publik desa tentang Irigasi didesa Bantrung (Desember 2004)
  3. Dialog publik desa sumosari tentang Miras (Maret 2002)
  4. Dialog Publik tentang Pelayanan Publik di desa Raguklampitan (Januari 2004)
  5. Dialog Publik tentang Revitalisasi Irigasi di Kecamatan Pecangaan
  6. Dialog Publik Pelayanan Kesehatan di desa Pancur
  7. Dan lain sebagainya.


3) Advokasi Kebijakan Perencanaan dan Penganggaran

Agenda advokasi kebijakan Perencanaan dan Penganggaran di Kabupaten Jepara dilakukan melalui beberapa kegiatan di tingkat desa, kecamatan maupun kabupaten. Advokasi ini dilakukan dalam berbagai persoalan yang membutuhkan respons dan ‘penanganan khusus’. Strategi yang digunakan adalah dengan menyuarakan dan mendesakkan aspirasi (usulan) dan secara massif dan kontinyu, kepada pihak-pihak terkait (pengambil keputusan), dan jika diperlukan dapat menggandeng aliansi strategis dan taktis. Beberapa advokasi yang pernah dilakukan diantaranya:

Advokasi Dana Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) 2005 di Kecamatan Kedung,

  1. Advokasi Revitalisasi Irigasi di Kecamatan Pecangaan
  2. Advokasi Keadilan anggaran untuk perajin tenun Troso, Pengusaha besar vs perajin kecil
  3. Advokasi Bondo Deso ( di 6 desa)
  4. Advokasi Penyusunan Perda Partisipasi (2003-2004)
  5. Dan lain-lain


4) Musyawarah Besar Warga Jepara

Pada tahun 2005 awal Forum Warga bersama dengan LAKPESDAM menggagas forum Deliberatif di tingkat kabupaten yang dinamakan Musyawarah Besar Rakyat Jepara sebagai salah satu bentuk eksperimentasi deepening democracy dan wacana tanding bagi mekanisme demokrasi yang dibakukan secara formal (Musrenbang). Melalui proses pengorganisasian warga dan pergumulan yang cukup panjang bersama aktor sosial di Jepara dicapai akumulasi gagasan dan kesamaan pandang untuk menyelenggarakan dan memaknai Mubes sebagai wahana mempertemukan aspirasi warga yang selama ini tidak tersentuh dalam perencanaan formal.

Musyawarah Besar (Mubes) Warga Jepara berlangsung secara partisipatif dengan menggunakan ToP (Tools of Participation). Sekian banyak problem publik dibahas bersama dalam 7 komisi yakni Pendidikan, Kesehatan, Lingkungan, Ekonomi -Pertanian, Industri-Buruh, Kelautan-, Hukum. Penjaringan gagasan dan perumusan rekomendasi kebijakannya dilakukan melalui diskusi–diskusi kelompok kecil yang hasil akhirnya disepakati melalui pleno musyawarah. Dari sini lahir 129 butir rekomendasi kepada pemerintah berupa usulan kebijakan dan anggaran, dan sampai hari ini 20% rekomendasi telah terealisasi. Seperti, Adanya bantuan peralatan bagi nelayan, mesin, jaring, dan Pemerintah menyediakan modal dengan bunga rendah untuk UKM (Saat ini pemda menyediakan pinjaman modal tanpa bunga kepada UKM, meskipun jumlahnya relatif kecil -150 juta-), menfasilitasi pemasaran produk warga didalam maupun luar negeri.

5) Rembug Warga Jepara[3]

Bulan Januari 2008 lalu, Forum Warga bersama Lakpesdam menyelenggarakan Rembug Warga Jepara. Rembug ini menjadi ajang mempertemukan pikiran-pikiran warga tentang berbagai hal yang menyangkut pengetahuan mereka tentang kebijakan, tata kelola pemerintahan dan persoalan anggaran. Selain itu, rembug warga menjadi arena mendiskusikan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengorganisasian dan aturan main organisasi warga yang selama ini digeluti masing-masing individu warga. Hal ini bukan merupakan pekerjaan yang baru sama sekali, namun lebih pada upaya mendokumentasi perjalanan Forum warga dan menggali pengetahuan warga tentang organisasi warga yang diharapkan dan disepakati dengan berbekal pengalaman aktivitas kewargaan sejak tahun 2001-2008. Kegiatan ini diikuti oleh 150 peserta perwakilan Forum Warga dan menghasilkan aturan main internal Forum Warga dan hasil analisa kebijakan dan RAPBD 2008.

Capaian Partisipasi warga di arena non formal

Beberapa capaian partisipasi di arena non formal antara lain;

  1. Dana masa paceklik untuk nelayan sebanyak 200 juta
  2. Bantuan penguatan modal untuk koperasi dan UKM sebesar 150 juta,[4]
  3. Program SRI (system rice intentification) sector pertanian sebesar 300 juta
  4. subsidi pengurangan bunga sebanyak 6 % untuk dana pinjaman bergulir PEMP sebesar 30 juta;
  5. Akses produksi dan pemasaran tenun troso sebanyak 12 ribu meter;
  6. Revitalisasi system irigasi di desa Karangrandu dan sekitarnya kecamatan pecangaan; dan lain-lain.

Capain tersebut diraih dengan beragam skala dan bentuk partisipasi seperti presure media massa, negosiasi, lobby, pengorganisasian kelompok basis (community based organizing), diskusi publik, advokasi kasus, dan sebagainya sesuai dengan kesepakatan dalam forum warga.

Dari pengalaman empirik proses pergerakan forum warga dapat direfleksikan beberapa hal: pertama, partisipasi sebagai bentuk keterlibatan warga dalam pengambilan keputusan publik, bukanlah hal yang serta merta dapat terjadi melainkan butuh prasyarat antara lain; kesadaran warga, akses informasi, wahana atau ruang yang memungkinkan. Kedua, proses pengorganisasian dan pendampingan yang intens, penguatan kapasitas warga untuk memasuki arena partisipasi publik adalah sesuatu yang mungkin dan niscaya dilakukan dalam proses penyadaran dan pendidikan politik warga. Ketiga, ukuran efektivitas (keberhasilan) partisipasi warga, ternyata tidak cukup hanya diukur dengan penguatan kapasitas di tingkat masyarakat warga (civil society) dengan segala indikator dan cerita suksesnya, melainkan juga dituntut sampai pada seberapa jauh –kebijakan publik atau public policy yang diadvokasi- mencapai sasarannya (ultimate meaning). Keempat, Faktor good political wiil pemerintah masih menempati porsi terbesar dalam keberhasilan advokasi warga. Hal ini senyatanya memberikan ilustrasi bahwa relasi Negara-warga masih belum seimbang. Dengan pengetahuan dan kesadaran untuk menyuarakan kepentingannya sendiri, maka relasi Negara-warga dapat terjaga keseimbangannya.[5]


Epilog
Cerita dari Jepara ini menandai bahwa hegemoni bahkan dominasi pemerintah dalam semua level partisipasi masih sulit ditawar dengan kekuatan warga meskipun senantiasa disadari bahwa partisipasi --dan anggaran-- adalah hak warga dan harus terus direbut! Menyadur Tan Malaka, dengan pemaknaan yang lain, keberhasilan-keberhasilan kecil yang diraih warga dalam arena partisipasi formal dan non formal merupakan bagian dari gerilya politik ekonomi (gerpolek) di masa otonomi daerah. Dengan keberhasilan kecil yang sudah terpapar diatas menandai bahwa kegigihan dan kekuatan warga menjadi penopang utama dalam setiap perubahan social.



[1] Program ini merupakan inisiasi PP Lakpesdam bekerjasama dengan PC Lakpesdam NU Jepara sejak tahun 2001 sampai 2005

[2] Dialog publik Kabupaten membahas persoalan-persoalan yang ‘tidak’ bisa diselesaikan pada tingkat desa dan kecamatan dan menjadi kewenangan pemerintah kabupaten

[3] Rembug warga diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan penguatan kelembagaan forum warga yang kedepan diharapkadiselenggarn dapat mengawal pelembagaan partisipasi di Jepara. Rembug warga dilaksanakan atas kerrjasama PC Lakpesdam Jepara- Forum Warga- PP Lakpesdam dan LGSP.

[4] Item ini merupakan hasil rekomendasi Rembug Warga yang diselenggarakan bersama LGSP-Lakpesdam dan Forum Warga Jepara pada 18 Januari 2008.

[5] Dimodifikasi oleh Mayadina dari Hasil Studi kasus Pengembangan Model Partisipasi Warga Dalam Tata Pemerintahan dan Demokrasi Lokal, PP Lakpesdam-LGSP, tahun 2007.

PEKERJA ANAK/BURUH ANAK, MASIH LAYAKKAH MEREKA ???

Senin

Oleh : Abd Gafur (Mahasiswa Fisip Uvri Makassar)

Tentang pekerja anak atau buruh anak bukan lagi masalah sosial Indonesia saja tetapi merupakan isu yang telah menjadi masalah di dunia dan menjadi salah satu agenda pokok. Hal ini juga mengindikasikan bahwa persoalan buruh anak merupakan persoalan serius dan menyangkut kepentingan banyak pihak. Mendengar kata Pekerja anak, kita langsung membayangkan anak yang bekerja, sementara disisi lain sebagian orang juga berfikir tentang anak yang berbakti kepada keluarganya, apakah bisa dianggap benar atau terjadi bentuk eksploitasi???.

Dari catatan International Labour Organization (ILO) memperkirakan bahwa anak yang bekerja sebagai buruh/pekerja anak sebanyak 218 juta orang (2004). Dan kalau pun membandingkan jumlah presentasi tersebut merupakan 7 persen dari jumlah tinggal di Amerika Latin, dan 18 persen di Asia, dan Afrika sekitar 75 persen. Untuk di Indonesia sendiri, angka Pekerja anak belum teridentifikasi dan jumlahnya tidak diketahui secara resmi. Tetapi, kalau melihat dengan referensi dari BPS (Badan Pusat Statistik), buruh anak adalah mereka yang berumur 10-14 tahun yang aktif melakukan kegiatan secara ekonomi (Sakernas, 1992; Nachrowi dan Muhidin, 1996). Dan sudah pasti banyak ketika kita punya data anak yang bekerja dari umur 10-18 tahun sesuai UU Perlindungan Anak nomor 23 Tahun 2002. Bahkan ada yang memperkirakan lebih besar lagi sampai 10 juta jiwa anak (Thijs, 1994). Angka yang berbeda mengenai jumlah buruh anak itu karena pertimbangan atas batasan dan konsep buruh anak. Data BPS sendiri tahun 2009. Pekerja dengan pendidikan SD ke bawah mengalami penurunan sebanyak 190 ribu orang dalam setahun terakhir (Februari 2008 – Februari 2009), namun jumlahnya masih tetap mendominasi lapangan kerja di Indonesia yaitu sebanyak 55,43 juta orang (53,05 persen) pada Februari 2009.

Terlepas dari pro-kontra jumlah buruh/pekerja anak diperkirakan meningkat lebih cepat tiap tahunnya. Apalagi ditambah krisis ekonomi tahun 1997 lalu saat ini merupakan salah satu indikasinya dan mungkin saja krisis tahun 2008 ini menambah besar quota pekerja anak. Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta (17,75 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta (15,97 persen), berarti jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 3,95 juta (BPS). Bukan hanya secara jumlah, pekerja anak/buruh anak juga meluas secara sektoral.

Terlepas dari jumlah, pikiran saya diatas bahwa bolehkan anak menjadi pekerja atau menjadi buruh, hal tersebut masih jadi pro-kontra. Kalau melihat kemabli ke pelosok pedesaan, anak yang bekerja itu sudah menjadi pememandangan biasa. Dalam proses indrustrialisasi, terjadi bentuk atau status keterlibatan anak dari tenaga keluarga yang tidak dibayar menjadi tenaga upahan. Menurut Tjadraningsih dan White (1992), sektor industri pengolahan di Indonesia selain mengandalkan angkatan kerja di atas umur 14 tahun, juga memanfaatkan mereka yang belum termasuk dalam angkatan kerja resmi.

Melihat sejarah panjang indonesia tentang per-buruh-an, anak-anak sudah menjadi oran yang dieksploitasi, menjadi buruh sejak zaman Belanda. Anak-anak menjadi buruh di perkebunan teh, tembakau dan tebu. Dan upahnya pun setengah dan bahkan tiga perempat dari upah dewasa laki-laki (Dokumen Pemerintah Kolonial Belanda tahun 1911/ Tjandraningsih dan Anarita, 2002). Konstalasi ini menjadi legitimasi mempekerjakan anak-anak, bahkan dengan pekerjaan yang eksploitatif, upah murah dan pekerjaan yang berbahaya (Joni, 1997). Bentuk eksploitasi terhadap anak terus terjadi dan dibidang ekonomi semakin meluas. Ketika anak bekerja menjadi Buruh di sebuah pabrik, dan saat diangkat menjadi sebuah permasalahan, pemilik modal selalu menjadikan tameng bahwa anak yang bekerja itu ada orang sangat ”berbakti” kepada orangtuanya. Dan orang tua pun tidak punya pilihan lain selain membenarkan hal tersebut terjadi. Sehingga hal tersebut menjadikan orang tua menjadi salah satu penyumbang terbesar anak sebai pekerja atau buruh.

Konvesi ILO 138 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja 1973 (ILO Convention No. 138 concerning Minimum Age for Admission to Employment) yang diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan UU No. 20/1999, Konvensi Hak-hak Anak (The United Nations Convention on the Rights of the Child) diratifikasi Pemerintah RI dengan Keppres 36/1990, dan Konvensi ILO 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak 1999 (ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Form of Child Labour) diratifikasi Pemerintah RI dengan UU No. 1/2000. Melihat juga KHA (Konvensi Hak Anak) pasal 32 menyebutkan bahwa buruh anak berhak dilindungi dari pekerjaan yang membahayakan kesehatan fisik, mental, spiritual, moral maupun perkembangan sosial atau mengganggu pendidikan mereka. Dalam pasal ini terkandung pengakuan bahwa persoalan buruh anak harus didekati sebagai persoalan kesejahteraan dan pekerjaan anak.

Melihat secara langsung daerah KIMA (Kawasan Industri Makassar), Walaupun telah banyak UU yang diratifikasi oleh Indonesia, tetapi tetap saja pekerja anak masih banyak dan tetap dibayar dengan upah tidak memenuhi Upah Buruh Minimum. Bukan hanya itu, anak pun masih bekerja melibihi porsinya dan berbanding sama dengan kerja Porsi orang dewasa. Dan kita juga tidak perlu menyalahkan ini salah siapa karena ini memang tuntutan zaman dan merupakan desakan ekonomi ataupun himpitan ekonomi.

Anak-anak yang dipekerjakan atau dilibatan dalam dunia kerja juga mengalami gangguan dalam tumbuh kembangnya, baik secara emosional maupun sosial. Anak yang bekerja akan mengalami hambatan dalam perkembangan pemikiran, sikap, kepribadian, keterampilan termasuk juga perilaku. Hal tersbut dikarenakan anak tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan dirinya. Dan yang terekam bahwa ada satu pekerjaan yang dilakukan berulang-ulang dalam jangka yang lama dan tidak ada ruang berpendapat dan membuat satu inovasi. Belum lagi dimensi hubungan orang dewasa dan anak banyak diwarnai oleh memusuhi dan kontrol yang berlebihan. Pekerja dewasa merasa tersaingi dengan kehadiran pekerja anak, sebagai akibatnya, pekerja dewasa memusuhi anak-anak dan sekaligus agar tidak merugikan kepentingan pekerja dewasa maka mengontrol tingkah-laku pekerja anak. Dampak dari sikap memusuhi dan kontrol pekerja dewasa dapat menimbulkan sikap pekerja anak : menarik diri, keras kepala, agresif (tidak mampu mengekspresikan keluar, diarahkan ke dalam

Harapan itu masih ada ketika Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara (Pemkab Kukar) menjadi pelopor yang mencanangkan daerahnya sebagai Zona Bebas Pekerja Anak (ZBPA). Kepeloporan tersebut muncul atas komitmen kuat bupatinya memprioritaskan pendidikan untuk meningkatkan sumber daya manusia Kukar. Pendeklarasian Kukar sebagai zona bebas pekerja anak, harus diakui sebagai kebijakan politik yang berani dan visioner. pencanangan ZBPA ini sebagai konsekwensi logis dengan diratifikasinya konvensi ILO No.138 dengan UU. No. 20/1999 Tentang Batas Usia Minimum Anak di perbolehkan kerja, serta konvensi ILO 182 dengan UU. No. 1/2000 tentang Penghapusan Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Kutai Kartanegara memelopori sebagai Kabupaten percontohan ZBPA, karena wilayah tersebut dinilai memiliki komitmen politik yang kuat tentang pendidikan, pengembangan ekonomi dan pelayanan sosial melalui Program Gerbang Dayaku yang memiliki tiga prioritas, yakni Pengembangan SDM, Ekonomi Kerakyatan dan Pelayanan Sosial

Mungkin saja, ketika Pemerintah Kabupaten Kutai menjadi sumbu meriam yang siapa meledak sehingga membuat daerah-daerah lain, khususnya Pemerintahan Sulawesi selatan terdorong untuk membuat hal yang sama dengan pemerintah kutai dan mungkin saja melebihi hal tersebut. Bukan hanya itu, Pemilik Industri juga Masyarakat juga harus merasa bahwa punya tanggung jawab secara tidak langsung, dan berprinsip bahwa anak adalah penerus cerita panjang Indonesia dan berpegang teguh bahwa anak tidak boleh dipekerjakan, dan sekalipun anak tetap bekerja akan tetap dilindungi dan menahan laju masuknya anak-anak ke dalam dunia kerja.*****

 
FaceBlog © Copyright 2009 Knowledge and Writing For All | Blogger XML Coded And Designed by Abd Gafur