Minggu
Sebagai awalan perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan judul di atas adalah usaha-usaha warga dalam memperjuangkan hak-haknya yang dirampas Negara/kekuasaan dengan dua arena; formal (mekanisme partisipasi yang di atur negara) dan non formal (ruang-ruang partisipasi yang diciptakan warga). Penegasan ini sangat penting karena hingga kini pemerintah masih membedakan dirinya dengan warga dalam setiap kesempatan yang kami alami di Jepara. Dan pendekatan oposisi biner efektif mengasah kecerdasan warga mendedahkan problem social dan kenyataan eksploitasi yang terus menerus dimainkan Negara. Karena itu pada setiap ruang dimana terjadi pembicaraan mengenai kepentingan public, maka pemerintah mesti diposisikan sebagai lawan bicara.
Di Jepara kami mencoba memfasilitasi pengembangan partisipasi aktif warga (active citizen) sebagai bagian dari pengembangan “demokrasi lokal” dan eksperimentasi mengenai deepening democracy. Selain itu, mencoba memfasilitasi masyarakat untuk bisa ikut berpartisipasi dalam proses kebijakan publik, termasuk di dalamnya proses perencanaan dan penganggaran. Terkait dengan upaya tersebut maka peran yang dilakukan Forum Warga mencakup dua arena formal dan non formal.
Arena Formal
Suksesnya penyelenggaraan Mubes FW telah mendorong Bappeda memberikan apresiasi positif terhadap gagasan perencanaan partisipatif dan penganggaran sebagaimana dilakukan PC Lakpesdam, FW dan tim inti Mubes diberi kesempatan untuk memfasilitasi Musrenbangdes di 194 desa dan Musrenbangcam di 14 Kecamatan dan menjadi peserta dalam Musrenbangkab. Kegiatan ini bermanfaat untuk meningkatkan kualitas partisipasi karena bisa melibatkan masyarakat yang lebih luas dalam Musrenbang. Meskipun demikian tidak banyak yang diperoleh warga kecuali mengetahui mekanisme dan aturan main musyawarah versi pemerintah dan sadar posisinya yang lemah dihadapan Negara. Bayangkan betapa sulitnya dalam sebuah proses perencanaan, usulan warga bisa masuk apabila tidak sesuai dengan dokumen RPJMDes atau Renstra SKPD yang notabene tidak pernah diketahui warga.
Terdapat kenyataan berbeda di dalam Forum SKPD dimana aktivis forum warga dilibatkan dalam perencanaan dan diminta memberikan usulan. Misalnya dari 20 usulan program untuk Dinas Pendidikan dari warga, 17 usulan diantaranya diakomodir. Usulan Program SRI (system rice of intensification) sector pertanian sejumlah 300 juta untuk 10 kelompok tani, student career centre, pengembangan media pelajar, dan lain-lain. Negosiasi macam ini dimungkinkan karena factor negosiasi kawan-kawan/warga dan good will SKPD bersangkutan. Jadi bukan factor transformasi dalam tata pemerintahan.
Banalitas pemerintah terhadap tuntutan perubahan menjadikan Musrenbang, Forum SKPD dll benar-benar sebagai arena pertarungan politik bagi warga. Kemampuan mengemukakan pendapat, berargumentasi secara rasional dan teknik negosiasi sangat menentukan dalam berunding dengan pemerintah. Disinilah posisi NGO dalam partisipasi di jalur formal sangat diperlukan. Bukan saja sebagai pendamping, melainkan juga sebagai negosiator.
Inilah arena sesungguhnya dari politik sipil dengan budaya dan bentuk yang beragam. Dinamika dan problematika dalam kelompok masyarakat nelayan, petani dan kelompok perempuan yang bergulat dengan PC Lakpesdam menggambarkan keberagamam tersebut. Dan disitulah keunikan sekaligus tantangan dalam arena partisipasi non formal. Beberapa kegiatan yang telah tempuh untuk membangun partisipasi non formal antara lain;
Lokakarya ini merupakan exercise pertama kali bagi FW dalam perencanaan dan penganggaran.[1] Di Jepara P4D mengambil lokasi di 4 kecamatan ( Pecangaan, Kedung, Batealit, Keling) dan 14 desa. Pemilihan lokasi ini memiliki pertimbangan antara lain, kecamatan Pecangaan memiliki potret home industri serta aktivitas pertanian yang sangat dinamis. Kecamatan Kedung merupakan kecamatan yang memiliki tensi konflik cukup tinggi, apalagi pasca konflik partai berdarah PPP vs PKB di Desa Dongos tahun 1999 disamping memiliki potensi kelautan dan desa Pesisir. Kecamatan Keling adalah daerah paling selatan Jepara yang mayoritas penduduknya bertani, beternak dan sebagian nelayan. Kecamatan ini memiliki sumberdaya alam yang potensial seperti pasir besi dan feldspar. Terakhir adalah kecamatan Batealit, daerah ini memiliki kesamaan dengan Kedung, memiliki tingkat ’ketertutupan’ birokrasi dan tensi konflik partai politik yang tinggi. Penduduknya mayoritas bertani, beternak dan buruh mebel.
2) Dialog Publik
- Dialog Publik tingkat kabupaten[2] (Mei 2003)
- Dialog publik desa tentang Irigasi didesa Bantrung (Desember 2004)
- Dialog publik desa sumosari tentang Miras (Maret 2002)
- Dialog Publik tentang Pelayanan Publik di desa Raguklampitan (Januari 2004)
- Dialog Publik tentang Revitalisasi Irigasi di Kecamatan Pecangaan
- Dialog Publik Pelayanan Kesehatan di desa Pancur
- Dan lain sebagainya.
3) Advokasi Kebijakan Perencanaan dan Penganggaran
- Advokasi Revitalisasi Irigasi di Kecamatan Pecangaan
- Advokasi Keadilan anggaran untuk perajin tenun Troso, Pengusaha besar vs perajin kecil
- Advokasi Bondo Deso ( di 6 desa)
- Advokasi Penyusunan Perda Partisipasi (2003-2004)
- Dan lain-lain
4) Musyawarah Besar Warga Jepara
Musyawarah Besar (Mubes) Warga Jepara berlangsung secara partisipatif dengan menggunakan ToP (Tools of Participation). Sekian banyak problem publik dibahas bersama dalam 7 komisi yakni Pendidikan, Kesehatan, Lingkungan, Ekonomi -Pertanian, Industri-Buruh, Kelautan-, Hukum. Penjaringan gagasan dan perumusan rekomendasi kebijakannya dilakukan melalui diskusi–diskusi kelompok kecil yang hasil akhirnya disepakati melalui pleno musyawarah. Dari sini lahir 129 butir rekomendasi kepada pemerintah berupa usulan kebijakan dan anggaran, dan sampai hari ini 20% rekomendasi telah terealisasi. Seperti, Adanya bantuan peralatan bagi nelayan, mesin, jaring, dan Pemerintah menyediakan modal dengan bunga rendah untuk UKM (Saat ini pemda menyediakan pinjaman modal tanpa bunga kepada UKM, meskipun jumlahnya relatif kecil -150 juta-), menfasilitasi pemasaran produk warga didalam maupun luar negeri.
5) Rembug Warga Jepara[3]
Bulan Januari 2008 lalu, Forum Warga bersama Lakpesdam menyelenggarakan Rembug Warga Jepara. Rembug ini menjadi ajang mempertemukan pikiran-pikiran warga tentang berbagai hal yang menyangkut pengetahuan mereka tentang kebijakan, tata kelola pemerintahan dan persoalan anggaran. Selain itu, rembug warga menjadi arena mendiskusikan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengorganisasian dan aturan main organisasi warga yang selama ini digeluti masing-masing individu warga. Hal ini bukan merupakan pekerjaan yang baru sama sekali, namun lebih pada upaya mendokumentasi perjalanan Forum warga dan menggali pengetahuan warga tentang organisasi warga yang diharapkan dan disepakati dengan berbekal pengalaman aktivitas kewargaan sejak tahun 2001-2008. Kegiatan ini diikuti oleh 150 peserta perwakilan Forum Warga dan menghasilkan aturan main internal Forum Warga dan hasil analisa kebijakan dan RAPBD 2008.
Beberapa capaian partisipasi di arena non formal antara lain;
- Dana masa paceklik untuk nelayan sebanyak 200 juta
- Bantuan penguatan modal untuk koperasi dan UKM sebesar 150 juta,[4]
- Program SRI (system rice intentification) sector pertanian sebesar 300 juta
- subsidi pengurangan bunga sebanyak 6 % untuk dana pinjaman bergulir PEMP sebesar 30 juta;
- Akses produksi dan pemasaran tenun troso sebanyak 12 ribu meter;
- Revitalisasi system irigasi di desa Karangrandu dan sekitarnya kecamatan pecangaan; dan lain-lain.
Capain tersebut diraih dengan beragam skala dan bentuk partisipasi seperti presure media massa, negosiasi, lobby, pengorganisasian kelompok basis (community based organizing), diskusi publik, advokasi kasus, dan sebagainya sesuai dengan kesepakatan dalam forum warga.
Dari pengalaman empirik proses pergerakan forum warga dapat direfleksikan beberapa hal: pertama, partisipasi sebagai bentuk keterlibatan warga dalam pengambilan keputusan publik, bukanlah hal yang serta merta dapat terjadi melainkan butuh prasyarat antara lain; kesadaran warga, akses informasi, wahana atau ruang yang memungkinkan. Kedua, proses pengorganisasian dan pendampingan yang intens, penguatan kapasitas warga untuk memasuki arena partisipasi publik adalah sesuatu yang mungkin dan niscaya dilakukan dalam proses penyadaran dan pendidikan politik warga. Ketiga, ukuran efektivitas (keberhasilan) partisipasi warga, ternyata tidak cukup hanya diukur dengan penguatan kapasitas di tingkat masyarakat warga (civil society) dengan segala indikator dan cerita suksesnya, melainkan juga dituntut sampai pada seberapa jauh –kebijakan publik atau public policy yang diadvokasi- mencapai sasarannya (ultimate meaning). Keempat, Faktor good political wiil pemerintah masih menempati porsi terbesar dalam keberhasilan advokasi warga. Hal ini senyatanya memberikan ilustrasi bahwa relasi Negara-warga masih belum seimbang. Dengan pengetahuan dan kesadaran untuk menyuarakan kepentingannya sendiri, maka relasi Negara-warga dapat terjaga keseimbangannya.[5]
Epilog
Cerita dari Jepara ini menandai bahwa hegemoni bahkan dominasi pemerintah dalam semua level partisipasi masih sulit ditawar dengan kekuatan warga meskipun senantiasa disadari bahwa partisipasi --dan anggaran-- adalah hak warga dan harus terus direbut! Menyadur Tan Malaka, dengan pemaknaan yang lain, keberhasilan-keberhasilan kecil yang diraih warga dalam arena partisipasi formal dan non formal merupakan bagian dari gerilya politik ekonomi (gerpolek) di masa otonomi daerah. Dengan keberhasilan kecil yang sudah terpapar diatas menandai bahwa kegigihan dan kekuatan warga menjadi penopang utama dalam setiap perubahan social.
[1] Program ini merupakan inisiasi PP Lakpesdam bekerjasama dengan PC Lakpesdam NU Jepara sejak tahun 2001 sampai 2005
[2] Dialog publik Kabupaten membahas persoalan-persoalan yang ‘tidak’ bisa diselesaikan pada tingkat desa dan kecamatan dan menjadi kewenangan pemerintah kabupaten
[3] Rembug warga diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan penguatan kelembagaan forum warga yang kedepan diharapkadiselenggarn dapat mengawal pelembagaan partisipasi di Jepara. Rembug warga dilaksanakan atas kerrjasama PC Lakpesdam Jepara- Forum Warga- PP Lakpesdam dan LGSP.
[4] Item ini merupakan hasil rekomendasi Rembug Warga yang diselenggarakan bersama LGSP-Lakpesdam dan Forum Warga Jepara pada 18 Januari 2008.
[5] Dimodifikasi oleh Mayadina dari Hasil Studi kasus Pengembangan Model Partisipasi Warga Dalam Tata Pemerintahan dan Demokrasi Lokal, PP Lakpesdam-LGSP, tahun 2007.